Frasa “banjir rendam ratusan rumah di Bangil,” atau “banjir rendam ribuan rumah di Rejoso” atau “Banjir melumpuhkan jalur Pantura Pasuruan” atau “Banjir Dua Meter Rendam Ratusan Rumah di Kraton” dan banyak lagi frasa soal banjir selalu menghiasi pemberitaan di media cetak, on line maupun televisi setiap musim penghujan. Para pembaca atau penonton berita banjir mungkin sudah hafal dengan kondisi itu dan mungkin menganggapnya tak lagi menarik.
Mereka pasti sudah tahu kalau banjir di Bangil, biasanya terjadi di desa ini-itu dan terparah di kelurahan ini-itu. Begitu juga dengan banjir Kraton, mereka mungkin hanya sekilas saja melihat judul berita karena mereka hafal jika banjir itu akibat meluapnya Sunga Welang. Biasanya ratusan rumah di Desa Tambakrejo Kecamatan Kraton dan Kelurahan Karangketug tenggelam akibat banjir Sungai Welang.
Jika banjir terjadi di Bangil, BPBD dan SKPD terkait bisa dipastikan membangun posko di Kelurahan Kalirejo, ada dapur umum juga fasilitas kesehatan. Puluhan anggota dari BPBD, Dinkes, Pengairan, juga SAR biasanya ready di lokasi. Tentu saja ada perahu karet yang sering jadi ‘pengangguran’ karena para korban banjir biasanya lebih siap dan tak khawatir. Mereka bertahan di rumah masing-masing.
Para petugas ini biasanya memberikan bantuan berupa makanan, mi instan, air bersih juga falitas kesehatan. Tentu saja bagi warga yang sudah terbiasa berjibaku dengan banjir, bantuan-bantuan tersebut bisa jadi tak ada artinya karena mereka akan survive tanpa bantuan tersebut.
Hal sama akan terjadi di Banjir Kraton. Sebagian warga bertahan, sebagian lagi mengungsi di kantor kecamatan atau pabrik kulit. Nyaris begitu setiap tahun.
Meski begitu, para juru warta mau tak mau harus menginformasikannya pada khalayak. Para juru warta akan berusaha tetap mencari hal-hal menarik agar pemberitaannya tak klise. Bumbu-bumbu penyedap pun terpaksa dimasukkan untuk menjaga agar berita yang dihasilkan punya nilai jual.
Para juru warta pasti akan kesulitan mencari sisi-sisi dramatis pemberitaan karena memang warga sudah sangat siap menghadapi banjir. Saat hujan lebat sementara volume air sungai sudah tinggi, warga langsung tahu apa yang dilakukan. Mereka bersiaga dan bersiap mengemasi barang berharga. Sebagian warga juga siap mengungsi ke rumah saudara dan tetangga.
Ya. Banjir di wilayah Pasuruan seperti kejadian sangat biasa. Kejadian yang klise. Upaya yang dilakukan pemerintah juga klise: memberikan bantuan dan bla-bla-bla lainnya.
Tentu saja warga korban banjir membutuhkan bantuan. Mereka membutuhkan makanan cepat saji karena dapur mereka terendam. Namun lantas apakah hanya memberikan bantuan yang bisa dilakukan pemerintah. Tentu saja tidak.
Pemerintah dengan kewenangan dan kemampuannya tentu saja bisa melakukan mitigasi atau pencegahan agar banjir tak lagi berulang. Banjir di Kraton-Karangketug misalnya, alasan klisenya karena sungai meluap dan bahkan bendungan jebol. Mengapa tak memikirkan proyek peninggihan tanggul atau penguatan tanggul yang ringkih. “Ini kewenangan Provinsi” begitulah dalih yang disampaikan.
Meski kewenangan Provinsi, bukan berarti pemerintah daerah tak bisa ngapa-ngapain. Bisa saja membuat tanggul di sisi tanggul yang ada, atau mengajukan kerja sama dengan provinsi atau pemerintah pusat untuk memperkuat dan meninggikan tanggul. Jika ada keinginan kuat dan sedikit mau berjuang, Pemerintah Provinsi atau Pusat pasti bisa membantu.
Banjir di Bangil, misalnya, yang dalam banyak kasus akibat sistem drainase yang buruk. Nah, ini yang lebih mudah. Pemerintah daerah bisa saja membangun sistem drainase yang baik untuk mencegah atau meminimalisir banjir. Pemerintah daerah, jika mau bisa saja membangun parit untuk jalan air.