Prigen (wartabromo) – Desakan ekonomi merupakan alasan klise yang terjadi di masyarakat penyanggah hutan arjuno welirang dalam perusakan, perambahan dan alih fungsi lahan di hutan arjuno welirang, baik di kawasan konservasi maupun di kawasan hutan produksi.
Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir berbagai bentuk perusakan hutan (deforestasi) di kawasan tersebut semakin tak terkendali. Semua pihak saling berbagi peran dalam proses perusakannya. Hal itu akan menjadi sangat serius jika tidak segera dilakukan tindakan nyata.
Fakta yang terjadi menunjukkan makin meningkatnya deforestasi di kawasan hutan yang dilindungi oleh undang-undang tersebut baik yang dilakukan oleh masyarakat penyanggah maupun oleh pemangku kawasan.
Dari riset yang dilakukan oleh PKTT ( Paguyuban Kelompok Tani Tahura) Alam lestari Pasuruan, ditemukan berbagai model deforestasi di kawasan hutan arjuno welirang. Diantaranya yakni Pembalakan liar, Pembakaran hutan dan Alih fungsi lahan.
Ada yang berbentuk pencurian kayu glondongan dengan peruntukan untuk pemenuhan kebutuhan bangunan dan kayu bakar, pencurian kayu untuk bahan baku pembuatan arang, pencurian tanaman hias yang dilindungi bahkan pencurian bibit tanaman khas hutan arjuno welirang.
Pembakaran hutan adalah hal yang paling merusak kawasan hutan arjuno-welirang, banyak pihak yang berperan dalam pembakaran hutan dengan berbagai tujuan. Masyarakat penyanggah hutan arjuno, sering kali membakar hutan untuk alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian. Pemburu membakar hutan untuk melokalisir hewan buruannya. Pencari rumput untuk kebutuhan pakan ternaknya juga tidak mau ketinggalan dengan tujuan agar tumbuh rumput muda yang sangat baik untuk pakan ternaknya. Bahkan, pendaki gunung pun ikut membakar hutan walau sampai saat ini belum diketahui motif dan tujuan dari pembakaran yang dilakukan.
Alih fungsi lahan adalah bentuk perusakan hutan yang makin tidak terkendali, kejadian ini terbesar dilakukan di kawasan hutan industri yang dikelola oleh perhutani. Dan sebagian kecil mulai masuk ke wilayah hutan konservasi.
Pertanyaan mendasar mengapa masyarakat terus melakukan intervensi kawasan hutan untuk lahan pertanian? Saat ini di sebagian kondisi perkampungan di desa penyanggah hutan arjuno welirang wilayah pasuruan diibaratkan seperti rumah tanpa pekarangan. Hal itu terjadi karena 90% tanah pertanian yang dimiliki oleh masyarakat penyanggah hutan habis dijual ke investor. Pada gilirannya, mereka tidak bisa lagi beraktifitas sebagai petani yang membuat mereka kehilangan mata pencahariannya. Di saat terdesak itulah, mereka mulai memanfaatkan lahan hutan industri untuk aktifitas pertanian mereka. Walau hal itu sah karena didukung oleh program PHBM yang dikembangkan oleh Perhutani.
Namun karena lemahnya pemahaman masyarakat tentang arti penting hutan dan lemahnya pemahaman yang diperoleh masyarakat tentang maksud dan tujuan program PHBM berdampak pada semakin parahnya perusakan hutan.
Program PHBM bagi masyarakat petani hutan di kawasan Perhutani ( diistilahkan pesanggem) harusnya akan mendapatkan banyak manfaat dengan bercocok tanam di bawah tegakan. Begitu juga Perhutani harusnya mampu panen kayu dengan baik karena kayu tegakannya dirawat oleh pesanggem.
Namun yang terjadi malah sebaliknya. Kebanyakan hutan industri kini tidak layak lagi dikatakan sebagai hutan. Tapi lebih cocok disebut sebagai kawasan perkebunan.
Jual beli lahan hutan industri (istilah masyarakat kampung, kontrak) oleh pesanggem, baik jual beli antar pesanggem maupun dijual ke pihak luar desa yang tidak tahu sama sekali fungsi penting hutan.