Purwosari (wartabromo) – Pesona keindahan lereng Arjuna dan segala rahasia mistisnya kembali berlanjut. Usai puas beristirahat di Goa onto Boego, perjalanan menuju puncak arjuna bisa kita lanjutkan ke Tampuono. Sebuah kompleks yang kerap dijadikan lokasi tempat peristirahatan bagi para pendaki Arjuno.
Selama perjalanan, hamparan kebun teh milik PTPN XII bisa kita lihat jauh di sebelah kiri. Area yang masuk Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang tersebut cukup luas serta menyejukkan mata, sekaligus jadi obat penawar penat perjalanan.
Selang satu setengah jam perjalanan dari Goa onto Boego, kita akan bertemu dengan sejumlah petilasan yang kerap dijadikan lokasi lelaku sejumlah orang yang percaya dengan kekuatan magis serta pencari keheningan.
Petilasan yang pertama yakni petilasan Eyang Abiyasa dengan jalan setapak yang ditata rapi dengan semen serta di kiri kanan jalan dibentuk taman – taman yang sangat rapi dan bersih. Nama Abiyasa merupakan tokoh pewayangan bergelar begawan yang dikenal sakti. Dalam cerita pewayangan, Ia dipercaya sebagai orang yang menulis riwayat keluarga Barata dan berumur panjang sehingga bisa melihat cicitnya Parikesit lahir.
Tak jauh dari petilasan Eyang Abiyasa terdapat pula sendang Dewi Kunthi yang konon jika airnya diminum dapat memberikan keluhuran jiwa serta selalu ingat Hyang Kuasa. Di sini juga terdapat beberapa pondokan. Dewi Kunthi dalam dunia pewayangan merupakan sosok perempuan cantik yang merupakan ibu dari pendawa lima.
Sebelum memasuki Tampuono, kita akan menjumpai petilasan yang dikenal dengan nama petilasan Eyang Sekutrem. Lokasi petilasan ini dinaungi oleh pohon – pohon besar sehingga terkesan wingit dan angker. Bangunannya berukuran 2,5m x 2m berbahan beton dengan lantai dan lapisan dinding yang terbuat dari keramik. Konon, pengunjung yang ingin mendapatkan berkah, harus singgah di petilasan ini lebih dulu. Di dalam petilasan, ada sebuah arca yang terbuat dari batu andezit dengan tinggi sekitar 70 cm.
20 menit perjalanan terdapat pula petilasan Eyang Sakri. Petilasan ini berupa cungkup tertutup menghadap ke barat, terbuat dari kayu. Di dalamnya terdapat semacam makam batu yang membujur ke utara selatan. Di sampingnya itu berdiri sebuah pondok yang terbuat dari ilalang kering yang dapat digunakan untuk beristirahat maupun bermalam.
Di kawasan Tampuono, kita akan merasakan susasana sejuk dan hawa dingin yang menyentuh kulit. Suasana siang terasa pagi lantaran terik mentari terhimpit rerimbunan daun pohon yang menghembuskan angin sepoi. Kita bisa melepaskan penat sepuasnya dengan bercengkrama dengan sesama pendaki yang kerap berkumpul di sini. Konon, para raja zaman dahulu juga kerap memanfaatkan lokasi ini untuk mencari ketenangan.
Di komplek ini, sebanyak empat rumah kosong yang bisa dipakai sebagai tempat tinggal, terbuat dari kayu berukuran sekitar 4×7 meter lengkap dengan amben (dipan) yang biasa dipakai untuk ngeluk geger (tidur) sambil menikmati kopi maupun gorengan yang dijual oleh warga buat para peziarah dan pendaki.
Selain dua petilasan tadi, terdapat pula candi lesung. Rutenya, dari petilasan Eyang Sekutrem, mengikuti jalan setapak yang mengarah ke kanan. Melewati celah batang-batang pohon yang sudah berumur puluhan tahun. Sayang, struktur bangunan candi ini hampir habis, hanya tinggal lempengan batu berbentuk persegi yang ditata hingga membentuk altar. Keberadaan tanah lapang yang berjarak sekitar 30 meter sebelah Timur dari lokasi candi memberikan pemandangan yang menarik diantaranya air terjun Gumandar, Candi Lepek, Candi Semar dan Makutoromo. (*/yog)